Menulusuri Gedung Perundingan Linggarjati, Saksi Bisu Diplomasi Kemerdekaan Indonesia

Photo Author
- Senin, 17 November 2025 | 19:05 WIB
 Gedung Perundingan Linggarjati (puspita)
Gedung Perundingan Linggarjati (puspita)

TatarMedia.ID - Di Kabupaten Kuningan, tepatnya di Desa Linggarjati, Kecamatan Cilimus, berdiri sebuah bangunan cagar budaya yang menjadi saksi bisu babak penting perjuangan diplomasi Indonesia: Gedung Perundingan Linggarjati.

Gedung Perundingan Linggarjati bukan hanya objek wisata sejarah, tetapi juga simbol kerja sama dan pengakuan kedaulatan bangsa.

Gedung Linggarjati berdiri di atas area seluas sekitar dua hektare, dikelilingi taman nan asri dengan pepohonan rindang. Bangunan terdiri dari beberapa bagian: gedung utama, paviliun, teras, garasi, hingga bangunan tambahan di sisi timur.

Baca Juga: Wisata Batu Luhur, Surga Alam di Ketinggian Kabupaten Kuningan

Di pintu masuk gedung utama, pengunjung disambut papan informasi yang memuat naskah Perjanjian Linggarjati, serta sebuah miniatur yang menampilkan proses perundingan saat itu.

Di dalam gedung utama, ada enam kamar dengan dua tempat tidur kayu putih di tiap kamar, dilengkapi kursi, lemari kayu, serta wastafel. Menariknya, kamar-kamar tersebut tidak memiliki toilet di dalam, karena pada masa kolonial, orang Belanda menganggap hal itu tidak sehat.

Ruang utama perundingan menampilkan meja dan kursi yang membagi bagian ruangan, serta dipajang foto-foto penting: para delegasi tiba, momen berdiskusi, dan wartawan asing yang menyiarkan hasil perundingan.

Baca Juga: Arunika Eatery, Destinasi Wisata Kuliner Instagramable Bertema Jepang di Kuningan

Terdapat pula ruangan tempat Presiden Soekarno pernah berbicara dengan mediator Inggris, Lord Killearn. Di sana, dipertahankan kursi tempat mereka duduk saat itu, disertai foto pertemuan bersejarah tersebut.

Juru pelihara gedung, Nana Bolin, menjelaskan bahwa pada masa perundingan, delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, dengan anggota seperti Moh Roem, Adnan Kapau Gani, dan Soesanto Tirtoprojo.

Sementara Belanda diwakili oleh Wim Schermerhorn, Mr. Van Poll, Dr. F. de Boer, dan Van Mook. Moderator dalam perundingan ini adalah Lord Killearn dari Inggris, sedangkan notulennya adalah J. Leimena, Soedarsono, Amir Syarifuddin, dan Ali Boediarjo.

Baca Juga: Eksplor Woodland Kuningan: Wisata Alam Kekinian dengan Udara Segar Pegunungan

Perundingan berlangsung selama tiga hari, dari 11 hingga 13 November 1946, dan menghasilkan 17 naskah. Salah satu poin pentingnya adalah pengakuan de facto Belanda terhadap tiga wilayah Indonesia: Jawa, Sumatra, dan Madura.

Selain itu, dibentuklah Negara Indonesia Serikat (RIS). Pada 15 November 1946, kesepakatan juga mencakup penarikan pasukan Belanda serta pembentukan Uni Indonesia–Belanda, dengan Ratu Belanda sebagai presiden simbolis.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Aldi K

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

7 Ide Cemilan Natal yang Mudah Dibuat Bersama Anak

Sabtu, 20 Desember 2025 | 08:00 WIB

Trend Liburan Nataru 2025: Staycation atau Road Trip?

Kamis, 11 Desember 2025 | 06:00 WIB
X