TatarMedia.ID - Sisingaan bukanlah sekadar tarian atau pertunjukan biasa.
Di balik topeng singa yang mencolok dan gerakan enerjik para penarinya, tersimpan sejarah panjang dan filosofi mendalam yang mencerminkan semangat perjuangan masyarakat Subang.
Asal-usul Sisingaan dapat ditelusuri hingga masa penjajahan. Singa, sebagai simbol kekuasaan penjajah, menjadi media bagi masyarakat Subang untuk menyuarakan ketidakpuasan dan perlawanan secara simbolis.
Anak yang ditunggangi singa dianggap sebagai generasi penerus, yang akan membebaskan diri dari penindasan.
Dikutip dari Subang.go.id, menurut Abah Salim pengrajin patung singa ( wawancara, 2011), awal mula keberadaan kesenian sisingaan di Kabupaten Subang berawal dari kegiatan ritual masyarakat yang akan menyunat anak laki-laki, dengan cara dihibur terlebih dahulu, diarak keliling kampung menggunakan kursi yang dihias atau disebutjampana.
Jampana diusung oleh empat orang dewasa, sedangkan calon pengantin sunat duduk diatas kursi yang telah dihias (jampana), musik pengiring dalam arak-arakan tersebut menggunakan alat musik seadanya seperti, Dog-dog, kendang, kempul, kecrek, dengan pola tabuh penca silat, dan improvisasi bersipat spontan (tidak terencana).
Baca Juga: Bak Karya Seni! Pesona Lubang Sewu dengan Lanskap Batuan Seribu Lubang
Gerak tari pengusung jampana tersebut belum ada gerak baku, masih bersipat helaran atau berjalan secara biasa, kostum yang digunakan seadanya.
Makna Filosofis Sisingaan Subang
Perlawanan: Singa melambangkan kekuatan penjajah yang menindas. Dengan menunggangi singa, anak-anak seakan menyatakan keberanian untuk melawan dan melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Harapan: Payung yang melindungi anak yang menunggangi singa menjadi simbol harapan akan masa depan yang lebih baik.
Baca Juga: Keindahan Curug Putri Palutungan Gemercik Air Tempat Bidadari Mandi
Solidaritas: Para pengusung singa mewakili masyarakat yang bersatu dalam perjuangan melawan ketidakadilan.