Menurut cerita, ayah KH Abdurrahim yang bernama H Yasin adalah keturunan Syekh Abdul Muhyi yang merupakan penyebar agama Islam di Tasikmalaya Selatan (Pamijahan) dan masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Raden Anggadipa yang ketika memegang jabatan sebagai Bupati Sukapura, Raden Anggadipa dikenal dengan nama Raden Tumenggung Wiradadaha III yang dikenal dengan panggilan Dalem Sawidak.
Pendidikan KH Ahmad Sanusi
Semenjak kecil, Ahmad Sanusi beserta dengan seluruh saudaranya dididik dalam lingkungan religius dan dilakukan secara langsung oleh orang tuanya yang pada waktu itu telah mendirikan sebuah pesantren yang bernama Pesantren Cantayan.
Pada tahun 1905 M, di saat usianya menginjak 17 tahun, Ahmad Sanusi mulai mondok di beberapa pesantren di wilayah Jawa Barat, seperti Cisaat, Sukaraja Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya, yang diselesaikan dalam tempo singkat selama empat setengah tahun, sebelum menikah dan menunaikan Ibadah Haji pada tahun 1910.
Baca Juga: Mengenal KH. Abdul Chalim Pahlawan Nasional Indonesia Asal Jawa Barat
Seusai menunaikan ibadah haji, Ahmad Sanusi beserta istrinya memutuskan untuk menetap di Makkah selama lima tahun, untuk memperdalam ilmu agama dari para Syaikh. Selain itu, ia pun membiasakan diri berkunjung kepada beberapa ulama Nusantara maupun tokoh pergerakan yang juga berada di Makkah, untuk bertukar pikiran dan menggali ilmunya.
Perjuangan KH Ahmad Sanusi
Kiyai Ahmad Sanusi, atah KH Ahmad Sanusi dikenal sebagai seorang mufassir atau ahli tafsir Al Qur’an, begitu memahami kandungan makna dari ayat-ayat Al Qur’an dan banyak mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan persamaan hak, harga diri, dan kemerdekaan sehingga KH Ahmad Sanusi dipandang sebagai sosok religius-nasionalis yang sangat berpengaruh pada masanya.
Dengan karakter dan kedalaman ilmunya, pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir terhadap aktivitasnya. Oleh karena itu, sejak tahun 1927, K. H. Ahmad Sanusi diasingkan ke Batavia Centrum. Selama di pengasingan, ia mengganti nama Hindia Nederland menjadi Indonesia dalam majalah yang dikelolanya: Al Hidajatoel Islamijjah.
Selain itu, ia juga mendirikan Al Ittihadijatoel Islamijjah (AII) sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial-keagamaan yang pada zaman pendudukan Militer Jepang, organisasi ini dibekukan, tetapi sejak 1 Februari 1944 diizinkan kembali dengan nama Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII).
KH Ahmad Sanusi di BPUPKI
Beliau ikut berusaha merumuskan konstitusi dasar bagi negara Indonesia merdeka sebagai anggota BPUPKI.
Sebagai anggota BPUPKI Nomor urut 2 (dua) dengan posisi duduk pada kursi nomor urut 36 bersama-sama Mr. Syamsuddin (sama-sama asli orang Sukabumi), pengurus Jawa Hokokai (Kebaktian Jawa), mewakili Masyumi bersama-sama K.H. Wahid Hasyim, Pengurus Masyumi (Majelis Syuro’ Muslimin Indonesia) bersama-sama K.H. Abdul Halim, anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai), Wakil Residen Bogor (Fuku Syucokan). Di wilayah Keresidenan Bogor (Bogor Syu) ia yang ikut membentuk Tentara PETA (Pembela Tanah Air), BKR (Badan Keamanan Rakyat) Sukabumi, dan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Kotapraja Sukabumi.
Pada masa Perang Kemerdekaan, KH Ahmad Sanusi ikut berjuang mempertahankan Kemerdekaan dan melahirkan kader-kader pejuang yang tangguh dan dengan tegas menolak eksistensi Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII). Penolakannya itu diikuti oleh beberapa ulama berpengaruh di Jawa Barat.
Sebagai seorang ulama pejuang, KH. Ahmad Sanusi tidak mengharapkan penghargaan dalam bentuk apapun dari umatnya. Beliau berjuang semata-mata ingin menegakkan ajaran Islam agar “bangsa bumiputera tidak bergantung kepada bangsa asing” seperti yang ditulisnya dalam bukunya Nahratud’dhargam. (Kurasi : Abdul Manap, dari berbagai sumber)
Artikel Terkait
Mengenal KH. Abdul Chalim Pahlawan Nasional Indonesia Asal Jawa Barat
Sejarah Ratu Kalinyamat Pahlawan Nasional Jepara